Pada tahun 1667 VOC (Vreenigde Oost Indische Compagnie/Pemerintah Hindia Timur) berhasil memaksa Sultan Tidore menandatangani kontrak monopoli cengkih. Kontrak ini pada dasarnya hanya mengatur hak tunggal VOC dalam membeli dan mengangkut cengkih dari kerajaan-kerajaan Maluku. Sebagai konsekuensi dari kontrak tersebut, VOC berhasil mendirikan beberapa buah benteng di Tidore. Dengan dibangunnya benteng-benteng tersebut, kedudukan VOC semakin kuat dan peluang untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Maluku semakin terbuka. VOC tidak saja melakukan monopoli di bidang perdagangan rempah-rempah, tetapi juga ikut campur dalam urusan tata pemerintahan kerajaan. Salah satu bentuk ikut campur tangan VOC terhadap urusan dalam negeri kerajaan Tidore adalah saat pengangkatan raja di Tidore. Dari garis keturunan Sultan Jamaludin, Sultan Tidore ketika itu, seharusnya yang berpeluang menjadi sultan adalah salah seorang putranya, Pangeran Nuku. Tetapi, ketika Sultan Jamaludin ditangkap oleh VOC, yang menjadi sultan setelahnya adalah Patra Alam, putra dari Kaicil Gayjira, salah seorang paman dari Jamaludin. Nuku sangat kecewa dengan konspirasi ini dan memprotes kepada gubernur Ternate, Gubernur Cornabe, mengenai pengangkatan Patra Alam. Protesnya tidak ditanggapi, akibatnya Nuku mengangkat senjata dan mengadakan perlawanan terhadap VOC.


Seluruh Seram Timur mengakui kekuasaan Nuku, demikian pula pulau-pulau disebelah timurnya, mulai dari Seram Laut sampai Kepulauan Kei, dan Aru. Nuku memilih Rarakit di pantai utara Seram Timur sebagai pusat kekuasaan. Alasannya adalah, daerah Rarakit memiliki beberapa perbentengan yang kuat. Pada tahun 1780 Nuku dinobatkan sebagai Sultan Tidore dengan gelar Sri Maha Tuan Sultan Mohammad Amiruddin Syaifuddin Shah Kaicili Paparangan oleh wilayah-wilayah yang mengakuinya sebagai seorang sultan. Penyebutan demikian karena pulau dan daerah itu betul-betul dikuasai oleh Nuku, yaitu meliputi: Patani, Batanta dan Salawati, Waigama dan Misool, Seram Timur dan pulau-pulau di sebelah tenggaranya sampai dengan Pulau-pulau Kai, Irian Barat, maka dapat dimengerti alasan mengapa Nuku menyebut dirinya dengan gelar “Sultan Papua dan Seram”.