Abraham Accords dan Kekecewaan Somalia

Gelombang normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Muslim melalui Abraham Accords sejak awal dipromosikan sebagai peluang strategis dan ekonomi. Namun, dalam praktiknya, tidak semua negara yang menunjukkan minat akhirnya mendapatkan imbalan politik yang dijanjikan. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa pendekatan Israel cenderung selektif, pragmatis, dan bahkan meninggalkan pihak-pihak yang sebelumnya berharap banyak dari proses tersebut.

Nasib negara-negara yang ingin ikut Abraham Accords tetapi kemudian dikecewakan Israel memperlihatkan pola yang semakin jelas. Normalisasi bukanlah kontrak timbal balik yang setara, melainkan alat geopolitik Israel untuk mengamankan kepentingan strategisnya sendiri. Negara yang dianggap tidak cukup stabil, tidak cukup berguna secara militer, atau berisiko tinggi secara politik dapat dengan mudah dikesampingkan.

Somalia menjadi contoh paling mutakhir dari dinamika ini. Bocoran jadwal pertemuan pejabat Amerika Serikat pada Mei 2025 menunjukkan bahwa pemerintah federal Somalia, melalui dutanya, pernah secara resmi meminta pertemuan untuk membahas kemungkinan bergabung dengan Abraham Accords. Permintaan itu diajukan atas nama negara, menandakan adanya niat politik dari Mogadishu untuk membuka jalur normalisasi dengan Israel.

Langkah Somalia tersebut mencerminkan realitas tekanan ekonomi dan keamanan yang dihadapi negara itu. Dengan konflik berkepanjangan, ancaman Al-Shabaab, serta ketergantungan pada bantuan luar negeri, Somalia melihat Abraham Accords sebagai pintu masuk menuju dukungan Barat yang lebih luas, termasuk investasi, bantuan keamanan, dan legitimasi internasional tambahan.

Namun, proses itu tidak pernah berlanjut. Tidak ada pengumuman resmi, tidak ada kesepakatan, dan tidak ada tindak lanjut berarti. Penolakan Israel berlangsung secara implisit, tanpa pernyataan terbuka, tetapi cukup jelas dari sikap dingin dan tidak adanya respons politik konkret. Somalia dibiarkan menggantung, tanpa kejelasan dan tanpa hasil.

Situasi ini menjadi kontras tajam ketika Israel justru bergerak cepat mengakui Somaliland sebagai negara berdaulat. Pengakuan tersebut secara eksplisit dibingkai “dalam semangat Abraham Accords,” dan langsung diikuti pernyataan kesiapan Somaliland untuk bergabung dalam perjanjian tersebut. Pilihan Israel ini menunjukkan bahwa preferensi bukan jatuh pada negara yang diakui PBB, melainkan pada entitas yang dianggap paling menguntungkan secara strategis.

Dari sudut pandang Israel, keuntungan Somaliland sangat konkret. Wilayah ini relatif stabil dibanding Somalia selatan, memiliki garis pantai panjang di Teluk Aden, dan berhadapan langsung dengan jalur pelayaran strategis dekat Bab al-Mandab. Posisi ini bernilai tinggi dalam konteks keamanan maritim dan pengawasan terhadap aktivitas Houthi di Yaman.

Jika Somalia diterima dalam Abraham Accords, keuntungannya lebih bersifat politis daripada operasional. Israel akan mendapatkan normalisasi formal dengan negara Muslim besar di Tanduk Afrika, serta potensi kerja sama intelijen melawan jaringan ekstremis. Namun, keuntungan ini diimbangi oleh risiko tinggi, mengingat lemahnya kontrol pemerintah pusat Somalia atas wilayahnya sendiri.

Berbeda dengan Somaliland, Somalia tidak bisa dengan mudah menjamin akses strategis. Penggunaan wilayah Somalia untuk pangkalan atau fasilitas logistik melawan Houthi hampir pasti menghadapi hambatan politik dan keamanan. Penolakan domestik, tekanan kelompok bersenjata, serta sensitivitas opini publik membuat skenario tersebut tidak realistis dalam jangka pendek.

Somaliland, sebaliknya, dapat menawarkan komitmen yang lebih jelas. Dengan otoritas lokal yang solid dan orientasi pro-Barat, wilayah ini dinilai lebih mampu menjamin keamanan fasilitas asing. Bagi Israel, ini berarti mitra yang lebih dapat diandalkan tanpa harus berurusan dengan kompleksitas politik negara yang rapuh.

Pilihan Israel ini sekaligus memperlihatkan kekecewaan bagi negara-negara yang berharap Abraham Accords menjadi jalan keluar dari isolasi dan krisis. Normalisasi tidak otomatis menghasilkan perlindungan politik atau penghormatan terhadap kedaulatan, seperti yang kini dirasakan Somalia setelah pengakuan Israel atas Somaliland.

Reaksi keras Somalia terhadap langkah Israel kemudian dipersepsikan secara sinis oleh pihak pro-Somaliland. Cuitan dari akun @AdalUnion menuding Mogadishu bersikap munafik, karena sebelumnya ingin mendekati Israel, tetapi kini mengecam keras setelah kepentingannya ditinggalkan. Narasi ini menambah lapisan konflik politik dan propaganda di kawasan.

Di tingkat regional, kasus Somalia menunjukkan bahwa Abraham Accords bukan jaminan stabilitas atau kemitraan jangka panjang. Negara yang bergabung atau ingin bergabung tetap berada dalam posisi tawar yang lemah, sementara Israel memegang kendali penuh atas arah dan manfaat normalisasi.

Bagi negara-negara lain yang mempertimbangkan langkah serupa, pesan yang muncul cukup jelas. Israel akan memilih mitra berdasarkan nilai strategis paling langsung, bukan berdasarkan legitimasi internasional atau niat baik diplomatik. Ketika kepentingan berubah, komitmen pun bisa ditinggalkan.

Dalam konteks keamanan Laut Merah dan Teluk Aden, pengakuan terhadap Somaliland jauh lebih selaras dengan kepentingan Israel dibanding menerima Somalia ke dalam kerangka Abraham Accords. Hal ini menjelaskan mengapa Mogadishu, meski pernah membuka pintu, akhirnya tersisih.

Ke depan, peluang Somalia untuk kembali mendekati Abraham Accords praktis tertutup. Ketegangan akibat isu kedaulatan membuat normalisasi dengan Israel menjadi mustahil secara politik. Somalia justru bergerak semakin dekat dengan blok negara-negara yang menentang langkah Israel tersebut.

Kisah ini memperlihatkan sisi lain Abraham Accords yang jarang dibahas. Di balik retorika perdamaian dan kerja sama, terdapat kalkulasi keras yang dapat meninggalkan negara-negara rapuh dalam posisi lebih lemah dari sebelumnya.

Bagi Somalia, upaya mendekati Abraham Accords kini berubah menjadi sumber kekecewaan dan krisis diplomatik baru. Harapan akan dukungan dan legitimasi berbalik menjadi ancaman terhadap keutuhan wilayah nasional.

Sementara itu, bagi Somaliland, langkah Israel menjadi lompatan besar menuju pengakuan internasional yang selama puluhan tahun mereka cari. Perbedaan nasib ini menegaskan bahwa dalam politik Abraham Accords, tidak semua pintu terbuka untuk semua pihak.

Pada akhirnya, dinamika ini memperlihatkan bahwa normalisasi dengan Israel bukanlah jalan satu arah menuju keuntungan. Bagi sebagian negara, ia justru menjadi pelajaran pahit tentang kerasnya politik kepentingan di kawasan yang terus bergejolak.

Baca selanjutnya

Posting Komentar

0 Komentar